Penuntun Jiwa: Sekilas Qiraat

Minggu, 06 Mei 2018

Sekilas Qiraat

Jika kita pelajari bahasa Arab secara mendalam, kita akan menemukan bahwa bahasa yg dipakai oleh masyarakat Arab memiliki banyak lajnah (dialek) yg dibentuk oleh lingkungan mereka. Perbedaan terletak pada cara pengucapan maupun cara penulisan suatu kata.

Setiap kabilah atau suku mempunyai karakteristiknya sendiri² kecuali suku Quraisy yg masih menjaga originalitas bahasa mereka. Meskipun diturunkan dalam dialek Quraisy, bukan berarti al Qur’an tertutup terhadap dialek selain bahasa Arab Quraisy. Karenanya al Qur’an diturunkan tidak hanya satu bahasa.

Qiraat adalah bentuk jamak dari kata qira’ah, istilah qiraat merupakan kata benda bentukan (masdar) yg berasal dari kata kerja qara’a - yaqra’u- qira’atan. Qara’a artinya bacaan.

Meluasnya wilayah Islam dan menyebarnya para sahabat dan tabi’in yg mengajarkan al Qur’an di berbagai kota menyebabkan timbulnya berbagai macam qiraah. Perbedaan antara satu qiraah dengan lainnya bertambah besar sehingga sebagian riwayatnya sudah tidak dapat lagi dipertanggungjawabkan. Para ulama menulis qiraah² ini dan sebagainya menjadi masyhursehingga lahirlah istilah “qiraat tujuh”, “qiraat sepuluh”, dan “qiraat empat belas”.

- Qiraat Sab’ah atau qiraat tujuh adalah tujuh versi qiraat yg dinisbatkan kepada para imam qiraat yg berjumlah tujuh orang, yaitu Ibnu Amir, Ibnu Kasir, Ashim, Abu Amr, Hamzah, Nafi’, dan al Kisa’i. Contoh Qiraat Sab’ah dapat diamati dalam Surah al Baqoroh 83:

حسنا /… و قولوالناسِ حسن

Pada peggalan ayat tersebut, Ibnu Kasir, Abu Amr, Nafi’, Ashim, dan Ibnu Amir membaca husnan, sementara Hamzah dan al Kisa’i membaca hasanan.

-Qiraat sepuluh adalah qiraat yg tujuh ini ditambah dengan Abu Ja’far, Ya’qub al Hadrami, Khalaf Ibn Hisyam al Bazzar.

- Qiraat empat belas adalah qiraat yg sepuluh ditambah dengan Ibn Mushaishin, Yazidi, Hasan al Bashri, dan al A’masy.

Untuk menangkal penyelewengan qiraat yg sudah mulai muncul, para ulama membuat persyaratan² bagi qiraat yg diterima. Untuk membedakan antara qiraat yg benar dan yg salah (syazzah), para ulama membuat tiga persyaratan:

-Shahih sanadnya, baik diriwayatkan dari imam qiraat yg tujuh dan yg sepuluh, maupun dari imam² qiraat yg menerima selain mereka.

-Sesuai dengan mushaf usmani.

-Sesuai dengan kaidah bahasa Arab.

Setiap qiraat yg memenuhi kriteria ini adalah qiraat yg benar, yg tidak boleh ditolak dan harus diterima. Sebaliknya , qiraat yg kurang salah satu dari tiga syarat disebut sebagai qiraat yg lemahatau batal, baik qiraat tersebut diriwayatkan dari imam yg tujuh maupun imam qiraat yg lebih besar dari mereka. Inilah pendapat yg rajih(unggul) menurut imam yg meneliti dari kalangan Salaf dan Khalaf. Imam Suyuthi, pendapat ini menjadi mazhab Salaf yg tidak diketahui seorang pun dari mereka yg menyalahinya.

Imam Suyuthi mengutip Ibn al Jazari yg mengelompokkan qiraat berdasarkan sanad kepada enam macam:

1.Mutawatir, yaitu qiraat yg diriwayatkan oleh sejumlah periwayat yg banyak sehinga tidak mungkin mereka sepakat berdusta dalam tiap angkatan sampai kepada Rosul. Para ulama al Qur’an dan ahli hukum islam telah sepakat bahwa qiraat yg berstatus mutawatir adalah qiraat yg sah sebagai al Qur’an.

2. Masyhur, yaitu qiraat yg sanadnya sahih. Akan tetapi, jumlah periwayatnya tidak sampai sebanyak mutawatir. Qiraat ini sesuai dengan kaidah bahasa arab dan tulisan mushaf utsmani.

3. Ahad, yaitu qiraat yg sanadnya sahih. Akan tetapi qiraat ini menyalahi tulisan mushaf utsmani atau kaidah bahasa Arab atau tidak masyhur seperti kemasyhuran tersebut di atas. Qiraat ini tidak sah dibaca sebagai al Qur’an dan tidak wajib menyakininya.

4. Syad, yaitu qiraat yang sanadnya tidak sahih.

5. Maudhu’, yaitu qiraat yg dibangsakan kepada seseorang tanpa dasar.

6 Mudraj, yaitu qiraat yg di dalamnya terdaat kata atau kalimat tambahan yg biasanya dijadikan penafsiran bagi ayat al Qur’an.

Jadi, qiraat adalah bentuk pengucapan/pembacaan al Qur’an dengan ragam versi qiraat disandarkan kepada masing²imam tersebut.

Ketika mengirim mushaf² ke seluruh penjuru kota, khalifah Utsman ra mengirimkan pula para sahabat yg memiliki cara membaca tersendiri dengan masing² mushaf. Setelah para sahabat berpencar ke seluruh daerah dengan bacaan yg berbeda itu, para tabi’in mengikuti mereka dalam hal bacaan yg dibawa para sahabat tersebut.

Dengan demikian, beraneka-ragamlah pengambilan para tabi’in, sehingga masalah ini bisa menimbulkan imam² qari’ yg masyhur yg berkecimpung didalamnya, dan mencurahkan segalanya untuk qiraat dengan memberi tanda² serta menyebarluaskannya.

Perbedaan antar qiraat terjadi pada perbedaan huruf, bentuk kata, susunan kalimat, i’rab, penambahan dan pengurangan kata. Perbedaan ini membawa sedikit atau banyak perbedaan kepada makna yg selanjutnya berpengaruh kepada istinbath hukum.

Perbedaan antara qiraat لامَسْتُمُ النِّسَاءَ dan juga mempengaruhi لَمَسْتُمُ النِّسَاءَ . Menurut mazhab Hanafi dan Maliki, semata-mata bersentuhan antara laki² dan perempuan tidak membatalkan wudhu. Sebab, menurut Hanafi, kata: لَا مَسْتُمْ di sini berarti jima’ dan menurut Maliki berarti bersentuhan yg disertai nafsu. Sedang menurut mazhab Syafi’i, bersentuhan semata akan membatalkan wudhu.

Satu hal itu menunjukkan besarnya pengaruh qiraat dalam proses penetapan hukum. Bahkan tidak jarang perbedaan qiraat menimbulkan perbedaan penetapan hukum di kalangan ulama.

Hal ini menunjukkan betapa terjaga dan terpeliharanya kitab Allah dari pengubahan dan penyimpangan, padahal kitab ini mempunyai sekian banyak segi bacaan yg berbeda-beda.

Meringankan umat islam dan memudahkan mereka untuk membaca al Qur’an.

Bukti kemukjizatan Qur’an dari segi kepadatan makna ijaz-nya, karena setiap qiraat menunjukkan sesuatu hukum syara’ tertentu tanpa perlu pengulangan lafadz.

إنا نحن نزلناالذكر وإنا له لحافظون

Sesungguhnya Kami-lah yg menurunkan al Quran, dan sesungguhnya Kami benar² memeliharanya. (Qs al Hijr 9).

Wallahu a'lam.

Nukil karya Ali Syahbuni 1999, Studi Ilmu al Qur’an, Cv Pustaka Setiabudi ,Bandung + penambahan.

Copas status

Tidak ada komentar:

Posting Komentar