Penuntun Jiwa: Cerita Penuh Hikmah
Tampilkan postingan dengan label Cerita Penuh Hikmah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerita Penuh Hikmah. Tampilkan semua postingan

Selasa, 20 Maret 2018

Kecintaan Hamba Allah Yang Sebenarnya

Junaid bin Muhammad al Baghdadi, atau lebih dikenal sebagai Junaid al Baghdadi adalah seorang ulama sufi yang dianggap sebagai para penghulu kaum auliya di jamannya, yakni pada abad ke 2 hijriah atau abad 9 masehi. Sejak masih kecil ia telah mendalami dan mempraktekkan kehidupan sufi di bawah bimbingan guru, yang juga pamannya sendiri, Sariy as Saqthi.

Suatu malam menjelang subuh, ketika tidur di rumah paman dan gurunya tersebut, Sariy as Saqthi membangunkannya dan berkata, “Wahai Junaid, bangunlah karena engkau akan memperoleh pelajaran sangat berharga malam ini…!!”

Kemudian Sariy as Saqthi menceritakan kalau ia bermimpi seolah-olah berhadapan dengan Allah, dan berkata kepadanya, “Wahai Sariy, ketika Aku menjadikan mahluk, maka mereka semua mengaku cinta kepada-Ku. Tetapi ketika Aku menciptakan dunia, maka larilah dari Aku sembilan dari sepuluh (90%-nya) kepada dunia, tinggallah satu dari sepuluh (10%-nya) saja yang tetap mengaku cinta kepada Aku…..!!”

Sariy melanjutkan ceritanya kepada Junaid, bahwa Allah menghadapkan Diri-Nya kepada hamba yang mencintai-Nya itu, yang tinggal sepuluh persennya. 

Kemudian Allah menciptakan surga, maka larilah sembilan dari sepuluh (90%-nya) untuk mengejar kenikmatan surga, tinggal satu dari sepuluh (10%-nya, atau seper-seratus dari seluruh mahluk) yang tetap berkhidmat dan mengaku tetap mencintai Allah, tidak tergiur surga dan kenikmatannya. 

Allah menghadapkan Diri-Nya kepada hamba yang mencintai-Nya itu, yang tinggal sepuluh persen dari sisanya (seper-seratus dari seluruh mahluk). 

Kemudian Allah menciptakan neraka, maka larilah sembilan dari sepuluh (90%-nya) untuk menghindari pedihnya siksa neraka, tinggal satu dari sepuluh (10%-nya, atau seper-seribu dari seluruh mahluk) yang tetap berkhidmat dan mengaku tetap mencintai Allah. Tidak takut akan neraka dan kepedihan siksaan di dalamnya, tetapi hanya takut kepada Allah, yang dilandasi rasa cinta. 

Allah menghadapkan Diri-Nya kepada hamba yang mencintai-Nya itu, yang tinggal sepuluh persen dari sisanya (seper-seribu dari seluruh mahluk). 

Kemudian Allah menciptakan atau menurunkan bala atau musibah, maka larilah sembilan dari sepuluh (90%-nya) untuk menghindari atau sibuk menghadapi musibah tersebut, tinggal satu dari sepuluh (10%-nya, atau seper-sepuluhribu dari seluruh mahluk) yang tetap berkhidmat dan mengaku tetap mencintai Allah.

Tidak mau disibukkan dengan bala tersebut, dan menerimanya dengan tawakal yang dilandasi rasa cinta kepada Allah. 

Maka Allah menghadapkan diri-Nya pada mereka yang tetap mengaku mencintai-Nya, yang tinggal seper-sepuluh ribu dari seluruh mahluk, dan berfirman, “Wahai hamba-hamba-Ku, kalian ini tidak tergiur dengan dunia, tidak terpikat dengan kenikmatan surga, tidak takut dengan siksaan neraka, dan tidak juga lari dari kepedihan bala musibah, apakah sebenarnya yang kalian inginkan??”

Tentu saja sebenarnya Allah telah mengetahui jawaban atau keinginan mereka, dan mereka itu memang hamba-hamba Allah yang ma’rifat (sangat mengenal) kepada-Nya. Maka mereka berkata, “Ya Allah, Engkau sangat mengetahui apa yang tersimpan pada hati kami!!”

Allah berfirman lagi, “Kalau memang demikian, maka Aku akan menuangkan bala ujian kepada kalian, yang bukit yang sangat besar-pun tidak akan mampu menanggungnya, apakah kalian akan sabar??”

Mereka yang memang hanya mencintai Allah itu berkata, “Ya Allah, apabila memang Engkau yang menguji, maka terserah kepada Engkau….!!”

Di akhir mimpinya itu, Allah berkata, “Wahai Sariy, mereka itulah hamba-hamba-Ku yang sebenarnya!!”


,,,,,,,

Selasa, 13 Maret 2018

Penampakan Jin, Syetan, Iblis Pada Zaman Rasulullah


Kisah penampakan Jin di zaman Rasulullah.

Sudah tidak asing bagi kita bahwa sejak zaman Nabi Adam As hingga akhir zaman kelak, iblis beserta kawan-kawannya akan terus mencari teman dan menjerumuskan manusia dengan kelalaian dan kedurhakaan, agar masuk kedalam perangkap dan golongannya.

Dan juga tidak terkecuali pada zaman Rasulullah, iblis senantiasa membayangi setiap manusia yang ingin berbuat baik dengan selalu memanfaatkan setiap celah dan kesempatan agar bisa menggoda manusia agar mau mengikuti setiap keinginannya.

Dan berikut adalah beberapa bukti nyata, bahwa jin dan golongannya telah menggoda manusia, bahkan menampakkan dirinya sebagai manusia dan berusaha terus merayu dan menggoda yang terjadi pada zaman Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam.


1. Di Darun Nadwah


Iblis akan menggoda manusia dengan bermacam cara termasuk dengan menyerupai manusia, seperti disebutkan dalam sebuah hadits;

Ketika para tokoh kafir Quraisy berkumpul di Darun Nadwah (gedung parlemen mereka), iblis menyusup dan menjelma sebagai seorang tokoh besar dengan baju kebesarannya. Saat mereka melihatnya, mereka pun bertanya: “Siapakah Anda?” ia menjawab, “Saya Syekh (tokoh) dari kota Nejed. Saya mendengar kalian telah bersatu, karena itulah saya hadir ke sini untuk agar kalian tidak kehilangan pendapat dan nasehat saya.” Mereka antusias menyambutnya; “Ya silahkan masuk.” Iblis pus masuk bersama mereka lalu berkata, “Perhitungkanlah keberadaan lelaki itu (Muhammad). Demi Allah, sepak terjangnya tak akan bisa kalian bending …” (Sirah Ibnu Hisyam: 2/94 dan Tafsir Ibnu
Katsir: 2/379)


2. Di Perang Badar


Syetan sebagai penggemar perselisihan dan pertikaian akan selalu membuat propaganda agar sesama manusia saling bersitegang dan bertarung satu sama lainnya serta salaing membinasakan.

Ibnu Abbas berkata, “Iblis telah menyerupai manusia sebagai sosok Suraqah bin Malik, pemuka Bani Mudlij. Ia datang ke tengah barisan tentara orang-orang musyrikin. Ia berkata: ‘Tidak ada seorang pun yang dapat menang terhadap kamu pada hari ini, dan sesungguhnya saya adalah pelindungmu’. Ketika manusia telah berkumpul Rasulullah SAW. mengambil segenggam debu, lalu beliau lemparkan ke arah orang-orang musyrikin, mereka pu lari tunggang langgang. Lalu Jibril menemui Iblis. Waktu itu Iblis sedang memegangi tangan salah seorang musyrik, begitu melihat kedatangan Jibril, ia langsung melepaskan tangan orang musyrik tersebut dan kabur mengambil langkah seribu. Orang musyrik itu pun langsung meneriakinya: ‘Wahi Suraqah, kamu tadi mengklaim diri sebagai pelindung kami? “ Iblis menjawab, “Sesungguhnya saya dapat melihat apa yang kalian tidak bisa melihatnya, sesungguhnya saya takut kepada Allah. Dan Allah sangat keras siksa-Nya.” Itulah reaksi Iblis saat melihat para malaikat.” (Tafsir Ibnu Katsir: 2/317).


3. Di Dalam Shalat


Apakah Rasulullah juga pernah langsung didatangi syetan?
Jin, Syetan, iblis tidak pernah takut kepada siapapun orang nya, dia akan menggunakan berbagai macam cara dan upaya untuk terus menjerumuskan setiap manusia agar mengingkari setiap perintah-perintah Allah Subhanahuwata'ala, tidak terkecuali para ulama.


Bahkan orang sehebat Rasulullah SAW, juga pernah berhadapan langsung dengan Syetan, seperti hadist berikut ini;
Aisyah ra. berkata, “Ketika Rasulullah shalat, datanglah syetan kepadanya. Lalu Rasulullah menangkapnya, membantingnya dan menyekiknya. Rasulullah bersabda, “Sampai aku rasakan lidahnya yang dingin di tanganku.” (HR. Nasa’i)


4. Di Dalam Gudang Zakat


Syetan adalah pembohong besar dan selalu menciptakan ketidak jujuran dan akan selalu meniupkan bisikan-bisikannya kepada setiap manusia dengan membiaskan penipuan sebagai kejujuran.
Abu Hurairah berkata: Rasulullah mengamanahiku untuk menjaga hasil pengumpulan zakat di bulan Ramadhan, lalu datanglah seseorang. Lalu ia menciduk hasil zakat dengan tangannya. Aku menegurnya: “Demi Allah, kamu akan saya laporkan ke Rasulullah.” Lalu ia berkata: “Saya sangat butuh sekali, dan saya mempunyai keluarga yang sangat membutuhkan makanan ini.” Maka aku membiarkannya pergi. Di pagi harinya, Rasulullah bertanya kepadaku: “Apa yang dilakukan tahananmu semalam?”. (Lalu Abu Hurairaih bercerita, dan peristiwa itu berulang tiga kali), sampai akhirnya jin itu mengajari Abu Hurairah ayat Kursi untuk membentengi diri dari gangguan syetan. Dan hal itu dibenarkan Rasulullah. Beliau berkata, “Kali ini ia benar, padahal la pembohong, ia adalah syetan.” (HR. Bukhari).


5. Di Dalam Gentong


Syetan, jin dan sebangsanya gemar sekali menyerupai hewan demi untuk mengganggu ketakwaan manusia agar menjadi syirik dengan kemusyrikannya melupakan ke-Esaan Allah Subhanahuwata'ala.

Ubay bin Ka’ab berkata: “Saya pernah punya gentong yang berisi kurma, saya selalu memeriksanya. Namun pada suatu saat, kurma itu berkurang dan waktu itu saya melihat sosok hewan menyerupai anak remaji. Aku pun menegurnya, “Apakah kamu jin atau manusia?”' la menjawab: “Aku jin”. Aku bertanya: “Apa yang bisa membentengi kami dari kejahatanmu?”' la meniawab:”Ayat Kursi”. Lalu aku ceritakan hal itu ke Rasulullah. Beliau bersabda, “Syetan itu benar.” (HR. Nasa’i)


6. Di Dalam Keranjang


Banyak sekali kisah tentang gangguan hantu yang sebenarnya adalah jelmaan dari jin dengan tujuan menggangu manusia agar takut kepadanya, dan lupa akan kekuatan dan kebesaran Allah Subhanahuwata'ala.

Sesunggqhnya Abu Ayyub mempunyai sekeranjang kurma, lalu datangtah hantu (syetan menampakkan diri) dan mengambilnya. Kemudian aku lapor ke Rasulullah, beliau berdabda, “Pergilah (ke tampatmu semula), apabila kamu melihatnya lagi, bacalah!. “Bismillah ajibi Rosulallah” (Dengan nama Allah, Taatilah seruan Rasulullah). Kemudian aku praktikkan, lalu dia (hantu tersebut) bersumpah untuk tidak datang lagi. Cerita ini sama dengan yang dialami oleh Abu Hurairah.” (HR. Tirmidzi)


7. Di Dalam Rumah


Bagaimanakah dengan jin yang berada ditempat peribadatan?
Apakah itu jin yang telah masuk islam, atau hanya berpura-pura menjadi orang alim?

Abu As-Sa’ib berkata bahwa bahwa Abu Sa'id al-Khudri pernah bercerita tentang pemuda penghuni rumah sebelahnya yang mati akibat balas dendam jin yang dibunuhnya. Waktu itu, jin itu menampakkan diri berupa ular, Tidak diketahui secara persis, mana yang terlebih dahulu mati, pemuda atau ular?
Ketika peristiwa itu disampaikan ke Rasulullah SAW. Beliau bersabda, “Sesungguhnya di Madinah ini ada jin yang telah masuk lslam. Oleh sebab itu, jika kalian melihat salah satu dari mereka, maka biarkanlah (izinkanlah) tiga hari. Jika setelah itu masih terlihat, maka bunuhlah karena ia adalah syetan.” (simak kisah Iengkapnya dalam hadits riwayat lmam Muslim)


Demikianlah kisah-kisah bagaimana di zaman Rasulullah juga pernah terjadi penampakan jin, syetan, atau iblis. Dengan segala kelicikannya dan penuh dusta senantiasa mengganggu orang-orang beriman dengan selalu mencari celah untuk bisa menjerumuskan kepada kekufuran, kemunafikan dan kesyirikan sampai yang paling halus sekalipun.


Semoga kita selalu dalam lindungan Allah Subhanahuwata'ala agar terhindar dari sebab kelalaian dan kedurhakaan serta tajamnya hawa nafsu yang selalu mengelilingi setiap detik nafas kita.

Sabtu, 10 Maret 2018

Nabi Kidir Ternyata Pernah Menjadi Budak


Suatu ketika Nabi Khidr AS berjalan di pasar dan bertemu dengan seorang budak mukatab. Melihat penampilannya yang saleh, walau tidak mengenalnya sebagai Nabi Khidr, budak itu berkata, “Bersedekahlah padaku, semoga Allah memberkahi engkau!!”

Tanpa memperkenalkan diri atau membuka identitas dirinya, Nabi Khidr berkata, “Aku percaya bahwa apa yang dikehendaki Allah pasti akan terjadi, tetapi aku tidak memiliki sesuatu apapun yang bisa kuberikan kepadamu!!”

Sang budak berkata, “Aku meminta kepadamu bi-wajhillah, bersedekalah kepadaku, karena aku melihat wajahmu sebagai orang yang baik (saleh), karena itu aku mengharap berkah darimu!!”

Beliau berkata, “Aku beriman kepada Allah, tetapi aku tidak memiliki sesuatu yang bisa kuberikan kepadamu, kecuali jika engkau ingin menjual diriku sebagai budak!!”

Budak itu terpana memandang Nabi Khidr seolah tidak percaya, dirinya sendiri sebagai budak, bagaimana mungkin bisa menjual orang merdeka sebagai budak? Kemudian ia berkata, “Apakah hal itu boleh dilakukan??”

Beliau berkata, “Engkau telah meminta kepadaku dengan atas nama Allah Yang Maha Agung, dan aku tidak bisa mengecewakan engkau demi Wajah Tuhanku. Juallah aku, dan pergunakanlah hasilnya untuk memenuhi kebutuhanmu!!”

Budak tersebut adalah budak mukatab, atau disebut juga budak kitabah, yakni yang dijanjikan oleh tuannya untuk dimerdekakan jika bisa membayar harganya walau dengan mengangsur. Ia juga tidak dibebani pekerjaan tuannya, dan bebas berusaha untuk memperoleh uang penebusan dirinya.

Mendengar penuturan Nabi Khidr tersebut sang budak sangat gembira. Ia segera membawa beliau ke tempat penjualan budak, dan terjual seharga empatratus dirham, cukup untuk membayar pembebasan dirinya.

Tinggallah Nabi Khidr bersama ‘tuannya’ yang membelinya, tetapi selama beberapa hari lamanya beliau tidak diperintahkan apa-apa. Tampaknya orang yang membeli beliau itu orang yang baik, ia tidak tega ‘membebani’ beliau dengan pekerjaan karena beliau kelihatan sangat lemah dan berusai sangat tua.

Nabi Khidr merasa tidak enak karena orang itu telah membayar mahal tetapi tidak memperoleh manfaat apa-apa dari dirinya. Suatu ketika tuannya itu akan pergi untuk suatu keperluan, beliau berkata, “Anda telah membeli diriku sebagai budak, maka perintahkanlah pada diriku untuk mengerjakan sesuatu!!”

Orang itu, yang juga tidak mengetahui kalau budak yang dibelinya adalah Nabi Khidr, berkata, “Aku khawatir akan memberatkan dirimu, engkau tampak telah sangat tua dan lemah!!”

Beliau berkata, “Tidak ada sesuatu yang memberatkan diriku!!”

“Baiklah kalau engkau memaksa, “Kata orang itu, “Pindahkanlah batu-batu di halaman ini ke belakang!!”

Di halaman rumah orang itu memang banyak berserak batu-batu yang cukup besar, yang membutuhkan beberapa hari untuk dipindahkan ke belakang rumahnya. Jika dipindahkan dalam satu hari, membutuhkan setidaknya enam orang yang cukup kuat dan kekar.

Belum setengah hari, orang itu telah kembali ke rumah dan batu-batu itu telah dipindahkan semuanya ke belakang. Orang itu berkata kepada Nabi Khidr, “Baik sekali pekerjaanmu, sungguh engkau mempunyai kekuatan yang tidak kusangka-sangka!!”

Suatu ketika orang itu memanggil Nabi Khidr dan berkata, “Aku akan pergi beberapa hari lamanya, jagalah keluargaku dengan baik!!”

Beliau berkata, “Baiklah, tetapi perintahkanlah pula aku mengerjakan sesuatu!!”

Orang itu berkata, “Aku khawatir akan memberatkan dirimu!!”

Beliau berkata lagi, “Tidak ada sesuatu yang akan memberatkan diriku!!”

Orang itu terdiam sejenak, ia sungguh tidak tega memberi beban pekerjaan kepada orang yang telah tampak sangat tua tersebut, tetapi karena memaksa, ia berkata, “Jika demikian, buatlah batu bata, aku akan membuat rumah setelah pulang dari perjalanan ini!!”

Tentu saja pekerjaan yang amat mudah bagi Nabi Khidr, bahkan lebih dari itupun beliau bisa melakukannya, karena beliau memang dikarunia Allah berbagai macam karamah.

Beberapa hari berlalu, orang itu pulang kembali tetapi ia tidak menemukan tumpukan batu bata, sebaliknya ia melihat suatu rumah cukup megah, sesuai dengan yang direncanakannya, pada tempat yang disiapkannya.

Ia tidak mengerti, padahal ia tidak pernah menceritakan gambaran rumah yang ingin dibangunnya kepada siapapun.

Orang itu segera menemui Nabi Khidr di tempatnya, dan berkata, “Aku akan bertanya kepadamu bi-wajhillah, siapakah sebenarnya engkau ini!!”

Nabi Khidr berkata, “Engkau telah bertanya kepadaku dengan kata bi-wajhillah, dan kata bi-wajhillah itulah yang menjadikan aku sebagai budak. Aku sesungguhnya Khidr yang namanya telah sering engkau dengar ……!!”

Kemudian Nabi Khidr menceritakan peristiwa yang beliau alami sehingga menjadi budak, dan beliau menutup ceritanya dengan berkata, “Barang siapa yang diminta dengan perkataan bi-wajhillah, lalu menolak permintaan orang itu padahal ia mampu memberi, maka pada hari kiamat ia akan datang dengan jasad tanpa daging, dan nafasnya akan terengah-engah tanpa henti!!”

Perasaan orang itu bercampur baur antara senang, takut, haru, khawatir, dan berbagai perasaan lainnya. Siapakah orang saleh di masa itu yang tidak ingin bertemu dengan Nabi Khidr?

Siapapun pasti menginginkannya, dan tanpa menyadarinya ia telah tinggal bersama beliau selama berhari-hari.

Ia berkata, “Aku beriman kepada Allah, dan aku telah menyusahkan dirimu, wahai Nabiyallah, andaikata aku tahu tidak perlu terjadi peristiwa seperti ini!!”

Nabi Khidr berkata, “Tidak mengapa, engkau adalah orang yang baik!!”

Orang itu berkata, “Wahai Nabiyallah, silahkanlah engkau mengatur rumah dan keluargaku sesuka engkau, atau bila ingin bebas dari perbudakan ini, aku akan memerdekakan!!”

Nabi Khidr berkata, “Aku ingin engkau memerdekakan aku, agar aku bisa bebas beribadah kepada Allah!!”

Maka orang itu memerdekakan beliau tanpa syarat apapun, dan Nabi Khidr berkata, “Maha Terpuji Engkau, ya Allah, yang telah mengikat aku dalam perbudakan, kemudian menyelamatkan aku darinya.

Ya Allah, semoga Engkau menjadikan kami sebagai orang-orang yang berakhlak baik dan membantu saudara-saudara kami lainnya mencapai surga.”

Minggu, 18 Februari 2018

Jawaban Yang Cerdas Mengapa Azan Harus Dikumandangkan Dengan Keras

Sebagai orang yang kurang ilmu dalam pendalaman ilmu agama, terkadang kita akan kesulitan menjawab sebuah pertanyaan dari kegiatan yang sebenarnya rutin dilakukan.

Itu karena kita tidak siap dengan jawaban dari pertanyaan yang tiba-tiba, yang terkadang malah akan memperlihatkan kebodohan kita.

Dan salah satu pertanyaan dari hal itu adalah mengenai Azan, yang saat ini sedang viral dengan segala beritanya.

Ya cuma mengenai azan, mengapa sih suara azan harus dengan suara keras melalui speaker lagi. ???

Padahal suara azan pasti telah kita dengar tiap hari lima kali menjelang datangnya waktu shalat lima waktu.

Kita pasti tidak akan mudah menjawab dengan jawaban yang masuk akal sehingga orang yang bertanya akan merasa puas.

Sebenarnya kita tidak perlu menjawab tentang azan itu sendiri, jika kita tidak mengerti masalah tersebut, bagaimana haditsnya dan dalam ayat berapa serta surat apa Al-Qur'an menyebutkannya.

Jika kita mampu memahami suatu pertanyaan secara alami, kitapun harus menjawabnya dengan jawaban yang masuk akal.

Mengenai jawaban dari pertanyaan tersebut diatas, ada sebuah cerita seperti yang telah saya kutip dari  annasindonesia. yang bisa menjadi jawaban bila kita tidak mampu menjawab pertanyaan tentang,

mengapa azan harus dikumandangkan dengan keras, apalagi juga melalui speaker tersebut??


Mengapa adzan harus dikumandangkan keras-keras? Pakai speaker pula. Apa tidak mengganggu yang lain yang bukan orang muslim?

Ada sebuah cerita menarik yang diceritakan seorang teman melalui aplikasi perbincangan di grup WhatsApp. Berikut kisahnya.

Adalah teman saya, yang kebetulan non muslim, bertanya kepada saya, “Kenapa kalau adzan harus dibunyikan keras-keras dengan speaker pula?”.

Saya yang bukan ahli agama kemudian berpikir sejenak mencari jawaban yang mudah dicernanya, menjawab seperti ini “Bro, adzan itu adalah panggilan sholat, pasti dong namanya panggilan tidak mungkin dengan cara yang sama seperti berbicara atau berbisik-bisik”.

Teman saya membalas “Tapi kan di orang-orang sekitar tidak semuanya muslim?”.

Saya jawab lagi;

 “Benar. Bro, kita sekarang sedang ada di bandara, dengar kan announcement bandara selalu memberikan panggilan boarding? Apakah kamu juga mempertanyakan ke mereka mengapa melakukan panggilan boarding pesawat YANG LAIN keras-keras padahal bukan panggilan pesawatmu?

Dia tersenyum namun membalas lagi 

Tapi kan hari gini semua orang sudah tahu dengan teknologi jam berapa waktu sholat apa, apa masih harus adzan keras-keras?”.

Saya pun kemudian menjawab 

Ya setiap penumpang juga kan sudah tau jadwal penerbangannya sejak pesan dan memegang tiket, kemudian check-in, sudah tercetak jadwal keberangkatannya di boarding pass, sudah masuk ruang tunggu, tapi tetap bandara melakukan panggilan boarding bukan?

Dan ada satu hal lagi mengapa adzan harus dikumandangkan, itu bukan hanya sebagai penanda sudah masuk waktu sholat tapi benar2 panggilan sholat, karena kami harus menyegerakan sholat.

Sama halnya semua penumpang harus menyegerakan masuk pesawat setelah panggilan boarding, walaupun masih ada waktu naik pesawat sampai pesawat tutup pintu”.

Kali ini senyumnya bertambah lebar, lalu dia setengah memeluk aku sambil menepuk-nepuk bahuku dan berkata “Super .. I got it bro“


Nb.
Masih banyak  orang tidak rela ketinggalan Pesawat dibanding ketinggalan Sholat, 

Bahkan lebih rela menunggu pesawat yg belum datang dibandingkan menunggu Azan datang.

Ayo kita share rame-rame di wall biar yang kepanasaan dengar adzan mudah-mudahan mata hatinya terbuka.

Sabtu, 17 Februari 2018

Seekor Burung Pelatuk Dan Sebatang Pohon

Assalamualaikum Wr. Wb.


Pembaca yang selalu dirahmati Allah..

Marilah terlebih dahulu kita panjatkan puja dan puji syukur atas segala karunia yang Allah berikan terhadap diri kita yang sebenarnya sangatlah hina dengan penuh berlumur dosa,

tetapi kita kan selalu meminta permohonan ampun kepada-NYA atas segala dosa yang kita perbuat.

Shalawat serta sallam atas junjungan kita Nabi Agung Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam.


Banyak orang berusaha untuk berbaik hati dan memuji diwaktu kita  dalam kesuksesan, hal ini ketika kita memiliki jabatan yang lebih tinggi, atau memiliki kekayaan lebih banyak darinya, atau kita lebih pintar darinya, dan lain sebagainya.

Sikap baik ini ia tunjukkan untuk mendapatkan kepercayaan dari kita, dengan begitu tujuannya pun akan mudah untuk diraih.

Disisi lain, ketika kita dalam kemelaratan dan benar-benar dalam kesusahan, ia malah memperlakukan kita dengan buruk.


Berikut ini sepenggal kisah seekor burung pelatuk dan sebuah pohon.



Ada sebuah pohon yang sedang berbuah lebat, buahnya terlihat kuning keemasan sangat menggiurkan.

Seekor burung jalak terbang ke pohon tersebut, dengan suara keras berteriak memuji pohon tersebut.

"Pohon yang subur, engkau terlihat indah dgn buah-buah pohon ini."

Pohon setelah mendengar pujian tersebut berkata kepada burung jalak, "Teman, tinggallah ditempat saya!."

Kemudian, seekor burung kenari terbang ke pohon ini, menghadap pohon ini sambil bernyanyi, "Pohon ini sangat hijau, buahnya sangat wangi, sangat bagus."

Pohon berkata kepada burung kenari ini, "Jika engkau ingin memakan buah, silahkan ambil saja!"

Seekor burung pelatuk terbang ke pohon ini, dia mematuk-matuk di sana-sini di badan pohon buah, membuat pohon buah sangat kesakitan, sambil menjerit kesakitan berteriak kepada burung pelatuk.

Burung pelatuk berkata, "Saya melihat di dalam tubuh Anda ada seekor ulat, saya ingin mematuknya keluar, jika tidak, maka Anda akan sakit dimakan ulat..."

Si pohon dengan marah berkata, "Omong kosong, engkau mematuk saya, sengaja ingin membunuh saya, cepat pergi dari sini!" Burung pelatuk akhirnya terbang pergi.

Tidak berapa lama kemudian, pohon menderita sakit, daunnya berubah kuning kemudian gugur.

Akhirnya dahannya juga layu, tdk bisa berbuah lagi.
Burung jalak terbang meninggalkannya.., burung kenari juga tdk datang bernyanyi lagi..

Pada saat ini burung pelatuk datang lagi, walau bagaimanapun pohon menjerit kesakitan, dia tidak peduli, mematuk terus sampai seluruh ulat di tubuh pohon terpatuk habis.

Beberapa waktu kemudian, pohon ini tumbuh kembali, daun-daun hijau mulai terlihat, kemudian berbuah lagi.

Pada saat ini, pohon dengan perasaan terharu berkata, "Yang bernyanyi dan memuji Anda belum tentu adalah seorang teman, tetapi yang bersedia menunjukkan kekurangan Anda, juga bisa membantu Anda, inilah teman sejati."


Seorang kawan memukul dengan maksud baik, tetapi seorang lawan mengelus untuk memanipulasi.

Hikmah yang didapat;

Orang yang berbuat baik pada kita saat kita sedang dalam kejayaan belum tentu akan terus ada disaat kita dalam penderitaan.

Marilah kita belajar melihat mana yg bener-benar teman dan mana yang sekedar memanfaatkan..

Semoga bermanfaat

Wassalamu'alaikum Wr.Wb.

Keberkahan Dari Sang Penguasa Yang Adil

Seorang pemimpin memang yang dipilih secara langsung oleh rakyatnya, sebenarnya telah mendapatkan amanah yang begitu besar untuk mengatur segala urusan masyarakat atau rakyat yang dipimpinnya secara adil dan bijaksana.

Dimana peraturan-peraturan yang dibuat semata-mata hanya untuk kemakmuran rakyatnya, sehingga tidak akan asal-asalan dalam memutuskan sebuah keputusan di tengah-tengah masyarakat.

Oleh karena itu, pada diri seorang pemimpin melekat kuasa atau otoritas untuk menentukan kebijakan dan keputusan. Namun demikian, semua harus dijalankan atas dasar iman, akal sehat dan kemaslahatan.

Lantas bagaimana dengan pemimpin negeri tercinta ini?

mengenai pemimpin yang adil dan bijaksana, ada sebuah kisah pada Zaman dahulu.





Suatu masa sebelum diutusnya Nabi SAW, salah seorang Kisra (Raja) Persia yang adil bijaksana sedang berburu di hutan belantara.

Karena asyiknya mengejar buruan, sang Raja terpisah dari pasukannya, padahal saat itu hujan mulai turun. Ia melihat sebuah gubug sederhana dan minta ijin berteduh, yang segera saja diijinkan.

Penghuni gubug itu, seorang wanita tua dan anak gadisnya tidak mengenal sang raja karena saat itu tidak memakai pakaian kebesarannya.

Di salah satu sudut gubug itu ada seekor lembu, sang gadis memerah susunya dan memperoleh hasil yang melimpah (banyak sekali), untuk menjamu tamunya tersebut.

Sang Raja minum dan ia langsung merasakan kesegarannya. Melihat keadaan itu, terbersit dalam hati sang Raja untuk menerapkan aturan pemungutan cukai (pajak) bagi pemilik lembu.

Hal itu akan menjadi sumber pemasukan (PAD) yang sangat lumayan bagi kerajaan.

Ketika malam menjelang, sang gadis akan memerah susu lembu seperti biasanya, tetapi ia tidak mendapatkan setetespun, maka ia berseru, “Wahai ibu, sepertinya raja mempunyai niat jahat terhadap rakyatnya!!”

Ibunya berkata, “Mengapa engkau berkata seperti itu??”
Sang gadis berkata, “Karena lembu ini tidak mengeluarkan susunya walau hanya setetes!!” 

Sang ibu berkata, “Sabarlah, ini masih malam, nanti menjelang subuh, cobalah lagi untuk memerahnya!!”

Sang raja yang tengah beristirahat di atas tumpukan jerami itu dengan jelas mendengar pembicaraan ibu dan anak tersebut. Ia berkata pada dirinya sendiri, “Begitu besarkah pengaruhnya dari apa yang aku putuskan??”

Ia berkutat dengan pikirannya sendiri, dan akhirnya membatalkan keinginannya untuk menarik pajak (cukai) bagi pemilik lembu, yang kehidupan mereka umumnya sangat sederhana.

Menjelang subuh, sang gadis mencoba memerah susu lembunya, dan ia memperoleh hasil yang melimpah seperti sebelumnya.
Maka ia berseru, “Wahai ibu, rupanya niat jahat sang raja telah hilang, lembu ini telah mengeluarkan susunya lagi!!”

Sang ibu mengucap syukur, begitu juga dengan sang raja yang ikut mendengarnya. Ketika hari telah terang, sang raja berpamitan dan mengucap terima kasih, tetapi tetap tidak membuka jati dirinya.

Tidak lama berselang, datang serombongan pasukan yang membawa ibu dan anak penghuni gubug sederhana itu ke kotakerajaan. Mereka diperlakukan dengan hormat dan penuh penghargaan.

Ketika mereka dihadapkan kepada sang Raja, barulah mereka menyadari kalau tamunya semalam adalah penguasa yang sempat ‘dirasani’nya (dibicarakan, dighibah).

Mereka berdua meminta maaf, tetapi raja yang bijaksana itu berkata, “Tidak mengapa, tetapi bagaimana engkau bisa mengetahui hal itu??”

Sang ibu berkata, “Kami telah tinggal puluhan tahun lamanya di tengah hutan itu. Jika raja yang memerintah berlaku adil dan baik, maka bumi kami ini subur, kehidupan kami luas dan lapang, serta ternak kami banyak menghasilkan.

Tetapi jika raja yang memerintah berlaku kejam dan buruk, maka bumi kami ini kering, tanah dan ternak-ternak kami tidak menghasilkan apa-apa, sehingga kehidupan kami menjadi sempit!!”


Demikianlah sepenggal kisah mengenai keberkahan dari penguasa yang adil.

Jumat, 16 Februari 2018

Sandal Jepit Dan Kaos Oblong Sang Pemimpin




Akhir-akhir ini sandal jepit dan kaos oblong sedang menjadi bahan perbincangan dan menjadi perhatian banyak netizen yang ramai-ramai membuat kedua benda tersebut menjadi hits.

Ramai sekali publik membahas kedua simple fashion item itu, baik di ruang media maupun di ruang nyata.

Lantas siapa yang menjadi penyebab kedua barang tersebut naik daun?

Ya, tak lain karena orang pertama di negeri ini, presiden kita Bapak Jokowi, yang sering diperbincangkan kebersahajaannya.

Pasalnya, sandal jepit dan kaos oblonglah yang menjadi ikon pemimpin merakyat dan bersahaja terbaru.

Ya, Bapak Presiden terhormat kita dielu-elukan namun juga sebenarnya dipertanyakan banyak orang, apalagi ketika dikaitkan dengan isu politik di negeri ini.

Karena ketika tampak mengenakan keduanya atau salah satunya di sering terlihat saat memancing, meresmikan acara penting, naik kereta api, dan momen-momen lain yang sudah pasti menjadi bidikan agar ditangkap kamera bak paparazzi.

Bila gaya berpakaian tertangkap kamera yang demikian memang sudah biasa sebelumnya, tentu tak jadi bahan pembahasan.

Lantas kapan sebenarnya trend tersebut muncul?

Kita sebagai orang-orang yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai kesederhanaan yang berwibawa, tidaklah harus ikut-ikutan menilai hubungan sandal jepit dan kaos oblong dengan politik, yang pada akhirnya hanya kicauan tanpa arah dan cenderung memojokkan satu sama lain.

Lebih baik jika kita ambil positifnya saja, seperti apa yang telah dilakukan oleh pemimpin umat islam jaman dulu, yaitu tentang kesederhanaan salah satu Khalifah terbaik " Umar Bin Khattab ( rodhiallahu 'anhu )

Seperti yang telah saya kutip dari seorang yang bernama,

Indah Shofiatin (Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat, Unair Surabaya) dalam tulisannya di voa-islam.com 


Lihat dan bandingkan pemimpin zaman sekarang dengan sepenggal biografi Umar Bin Khattab (rodhiallahu ‘anhu), salah satu Khalifah terbaik kaum muslimin, berikut ini:



Suatu malam saat keliling kota untuk blusukan rahasia, Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anh mendengar anak-anak menangis.

Setelah beliau temukan sumbernya, ternyata tangisan itu dari tempat seorang wanita yang memasak batu untuk anak-anaknya yang kelaparan kala paceklik melanda hijaz.

Mengetahui kejadian tersebut, seketika beliau pergi menuju gudang makanan di kota, lalu memanggul sendiri sekarung gandum dengan tergesa menuju rumah keluarga yang kesulitan itu.

Bahkan saat seorang pegawainya menawarkan untuk memanggulkan gandum itu, sang Khalifah menolak sambil bertanya, “Beranikah kamu menggantikan memanggul tanggung jawabku di akhirat kelak?”.

Lalu beliau mendatangi rumah itu, memasakkan gandum itu untuk mereka, makan malam bersama mereka, bahkan menghibur sang anak hingga tertidur.

Umar bin Khattab tidak menceritakan tentang siapa dirinya kepada keluarga itu. Tak satupun anggota keluarga itu tahu bahwa yang sedang membantu mereka adalah seorang penguasa tertinggi kaum muslimin, Khalifah Umar Bin Khattab ra.

Karena Umar yang mengatur negara dengan Islam tidak menghendaki pujian manusia, melainkan pujian dan keridhoan Allah saat dirinya berlaku adil kepada semua rakyatnya.

Di dalam penggalan shirah beliau yang lain, bahkan para Shahabat radhiyallahu ‘anhum merasa kesulitan untuk mengusulkan kepada Khalifah Umar bin Khattab agar menerima kenaikan tunjangan hidup beliau sebagai Amirul Mukminin, kala harga-harga di pasar mulai merangkak naik.

Begitu sulitnya menyampaikan usulan yang menyangkut kesejahteraan keluarga Umar ini, Utsman radhiyallahu ‘anh sampai mengusulkan untuk menyampaikan usulan ini lewat putri beliau, Hafshah binti Umar karena mereka takut beliau murka atas usulan mereka.

Benar saja, saat Hafshah radhiyallahu ‘anha menyampaikan usulan itu kepadanya, beliau murka.

“Siapa yang mengajarimu untuk menanyakan usulan ini?”,

“Saya tidak akan memberitahukan nama mereka sebelum Ayah memberitahukan pendapat Ayah tentang usulan itu”, jawab Hafshah.

“Demi Allah, andaikata aku tahu siapa yang mengajukan usulan tersebut, aku pasti akan memukul wajah orang itu!”, dengan tegas Umar menolak.

Inilah gambaran pemimpin yang mencintai dan dicintai oleh rakyatnya.

  • Pemimpin yang sederhana karena takut tidak bisa menyamai ketinggian derajat kedua sahabatnya di mata Allah, Rasulullah dan Abu Bakar.


  • Pemimpin yang memilih hidup sederhana karena ingin mengikuti kesederhanaan hidup dua orang sahabat yang paling dicintainya karena Allah.


  • Pemimpin yang takut akan siksaan Allah bila tidak memimpin dengan adil, bila tidak bisa menjamin kesejahteraan rakyatnya hatta tak mempedulikan sejahteranya sendiri.


  • Pemimpin yang menangis saat rakyatnya menangis, yang merasa paling bertanggung jawab saat rakyatnya masih ada yang menderita.


  • Inilah pemimpin sederhana yang sebenarnya. Bukan pemimpin yang tampil bersahaja demi pencitraan.



Rakyat negeri ini memang selayaknya sudah hapal dengan berbagai wujud politik pencitraan. Berbagai gaya pencitraan yang membuat penilaian rakyat keblinger sudah pernah dirasa dan diderita. Sudah bukan zamannya lagi kita tertipu dengan politik tipu-tipu ala pencitraan sinetron atau iklan.

Ini zaman menjadi muslim yang cerdas, yang menimbang bukan dengan kulit tapi dengan kualitas. Siapapun orangnya, bila mampu memimpin dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah layaknya Khulafaur Rasyidin, dialah pemimpin umat.

Dari manapun golongannya, bila kesederhanaannya muncul karena takut kepada Allah dan mengkhawatirkan nasib rakyat hingga sulit tidur dan sulit makan, dialah pemimpin yang dicinta.

Bagaimanapun fisiknya, terlihat perlente, priyayi, atau ndeso, asalkan kebijakannya yang ilahiyah membawa kebaikan bagi seluruh rakyat bahkan seluruh alam, inilah pemimpin yang ditunggu dan digugu, yang ditaati dan di hati tanpa perlu sibuk pencitraan sana-sini.

Sayangnya, pemimpin sekualitas ini hanya akan terlahir dari jiwa yang tercelup iman, yang terbalut dengan takwa, dan terdidik untuk menjalankan seluruh syariat Allah, tanpa pilih dan tanpa terkecuali.

Seraya kuat tekad dan usahanya untuk mewujudkan Islam rahmatan lil ‘alamin dalam kepemimpinannya berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya.

Inilah pemimpin sekaliber Umar Bin Khattab. Tidak akan terlahir pemimpin yang kita rindu ini, bila politik negeri kita masih digentayangi citra manusia dan kepentingan golongan kaya dan para penguasa.

Para Khalifah, hanya akan muncul dalam era Khilafah. Saat umat menyadarinya, di titik itulah Umar bin Khattab abad baru akan muncul. Di negeri kita tercinta, dengan segala ketulusan dan ketaatannya.

Insya Allah.



Itulah cerita tentang bagaimana pemimpin seharusnya yang penuh dengan keimanan, kesederhanaan, dan kesahajaan.

Bagaimana dengan para pemimpin negeri ini?

Inilah sekilas gambaran seorang pemimpin yang memang wajib untuk melindungi dan membuat rakyat makmur.

Lantas bagaimana dengan para pemimpin yang lagi menghadapi era politik terbaru yang mungkin sedang mempergunakan waktu dan kemampuannya untuk bisa naik kembali di singgasana kepemimpinan tertinggi?

Entah itu dibuat sebagai pencitraan maupun memang sedang mendalami kesahajaan, tetapi itulah pemimpin negeri ini yang memang sah dipilih oleh rakyat.

Dan kita lebih baik mengambil segi manfaat dan kebaikan dari semua itu, agar kita tidak terperosok dalam hujatan dan caci makian para pendengki.

Karena yang pasti bagi mereka, akan membuat segala macam cara dan upaya untuk meruntuhkan orang-orang yang dibencinya.

Semoga kita dijauhkan dari pertikaian dan kesalahpahaman yang akan melahirkan hujatan dan hinaan yang tak berguna.

Semoga negeri ini selalu dipimpin oleh orang-orang pilihan yang sudah digariskan Allah Subhanahuwata'ala..



Kamis, 15 Februari 2018

Tidak Bersekutu Dalam Kedzaliman

Suatu ketika dua orang ulama dari kalangan Tabiin (atau mungkin Tabiit-tabiin), Ibnu Thawus dan Malik bin Anas dipanggil untuk menghadap Khalifah Abu Ja’far Al Manshur. 

Khalifah ke dua dari Daulah Bani Abbasiah ini terkenal dengan kekejamannya dalam menegakkan kekuasaannya, tetapi pada waktu itu ilmu-ilmu keislaman juga mulai berkembang dengan pesatnya, baik itu Fikih, Hadits, Tafsir, dan lain-lainnya. 

Sebenarnya dua ulama itu kurang senang dengan panggilan tersebut, tetapi mengingat kekejamannya, mereka berdua mendatanginya juga. 

Mereka masuk ke majelis al Manshur, dan dipersilahkan duduk pada tempat yang telah disediakan. Ternyata saat itu sang khalifah tengah bersiap mengeksekusi (menghukum mati) seseorang, sang algojo dengan pedang yang terasah tajam siap menerima perintah. 

Al Manshur tampak terpekur beberapa saat, kemudian menoleh dan berkata kepada Ibnu Thawus, “Ceritakan kepadaku sesuatu tentang ayahmu!!” 

Tanpa rasa takut dan tedeng aling-aling, Ibnu Thawus berkata, “Aku mendengar ayahku berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda : Sesungguhnya orang yang paling keras siksaannya pada hari kiamat adalah orang yang menyekutukan Allah dalam hukum-Nya, lalu memasukkan ketidak-adilan dalam keadilan-Nya!!”

Tentu saja Ibnu Thawus sangat tahu apa yang dikatakannya, dan resikonya karena dikatakan di hadapan penguasa yang sangat terkenal kekejamannya. 

Tetapi seperti yang pernah disabdakan Nabi SAW, bahwa jihad terbesar adalah kalimat yang benar (haq), yang disampaikan di hadapan penguasa yang dzalim. 

Malik bin Anas (yakni Imam Malik, yang ‘menyusun’ madzab Maliki dan kitab hadist yang pertama al Muwaththa’) juga khawatir dengan perkataannya itu, jangan-jangan Al Manshur memerintahkan algojonya untuk membunuh Ibnu Thawus. 

Karena itu ia menutupi dirinya dengan jubahnya agar tidak terpercik darah Ibnu Thawus.

Tetapi beberapa saat berlalu, ternyata Al Manshur hanya diam terpekur, kemudian berkata lagi, “Wahai Ibnu Thawus, berilah aku nasehat!!”

“Baiklah,” Kata Ibnu Thawus lagi, “Tidakkah engkau mendengar Firman Allah SWT : 

Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap kaum Ad? Penduduk Iran yang mempunyai bangunan-bangunan yang tinggi, yang belum pernah dibangun (suatu kota) seperti itu di negeri-negeri lain, dan kaum Tsamud yang memotong batu-batu besar di lembah, dan kaum Firaun yang mempunyai pasak-pasak (tentara yang banyak), yang berbuat sewenang-wenang dalam negerinya, lalu mereka berbuat banyak kerusakan dalam negeri itu, karena itu Tuhanmu menimpakan kepada mereka cemeti azab (yakni siksa yang sepedih-pedihnya), sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi!!”

Kekhawatiran Imam Malik makin meningkat saja. 

Kalau tadi Ibnu Thawus ‘mengancam’ sang khalifah dengan hadist Nabi SAW, kini meningkatkan ‘ancamannya’ dengan Firman-firman Allah yang tercantum dalam QS Al Fajr ayat 6-14. 

Lagi-lagi Imam Malik menangkupkan jubahnya kalau-kalau terjadi sesuatu dengan Ibnu Thawus, yakni dibunuh, dan darahnya akan memercik pada dirinya. 

Tetapi seperti sebelumnya, khalifah Al Manshur hanya terpekur mendengar perkataan Ibnu Thawus tersebut, yang jelas-jelas mengkritisi, bahkan mencela ‘kebijakan tangan besi’ yang telah dilakukannya. 

Ia seperti tenggelam dalam pikirannya sendiri, kemudian berkata, “Wahai Thawus berikanlah (pinjamilah) tinta (pena/pulpen) kepadaku!!”

Mungkin maksud Al Manshur akan mencatat perkataan atau nasehatnya tersebut, tetapi lagi-lagi Ibnu Thawus menolak memberikannya. Maka sang khalifah berkata, “Apa yang menghalangimu untuk memberikan tinta itu kepadaku??”

Walau nilai atau harga tinta tidaklah seberapa, bahkan mungkin tidak ada nilainya sama sekali bagi Al Manshur, tetapi Ibnu Thawus punya alasan sendiri. 

Ia berkata, “Aku khawatir kamu menuliskan perintah kemaksiatan (kedzaliman), maka aku bersekutu (terlibat) denganmu dalam kemaksiatan itu!!” 

Al Manshur tampak jengkel dengan perkataan Ibnu Thawus itu, tetapi entah mengapa ia tidak bisa atau tidak berani bersikap kejam kepadanya. Ia berkata, “Pergilah kalian dariku!!”

Maka Ibnu Thawus berkata, “Itulah yang memang kami harapkan!!”

Senin, 12 Februari 2018

Nabi Idris As Menyiasati Malaikat Izrail

Assalamualaikum Wr. Wb


Menurut sebagian riwayat, Nabi Idris AS belum pernah mengalami kematian ketika hidupnya di dunia seperti halnya Nabi Isa AS, hanya saja mempunyai kisah dan keadaan yang berbeda.

Tentang Nabi Isa dalam versi kita kaum muslimin,

ketika pasukan kaum Yahudi berhasil menemukan tempat persembunyian Nabi Isa dan para sahabat beliau kaum Hawariyyun, Allah SWT mengangkat beliau ke langit, kemudian Allah menyerupakan wajah Yudas Iskariot menyerupai wajah Nabi Isa.

Murid beliau yang satu ini berkhianat dan menunjukkan persembunyian beliau kepada kaumYahudi karena iming-iming harta kekayaan.

Yudas Iskariot inilah yang ditangkap, disalib, kemudian dibunuh oleh orang-orang Yahudi karena memang ‘memiliki’ wajah Nabi Isa.

Sedang tentang Nabi Idris, semuanya berawal dari malaikat maut yang ingin bersahabat dengan beliau. 

Keinginan dan kerinduan Izrail itu muncul karena setiap hari (pada waktu ashar) dan malamnya (pada waktu subuh) ia melihat begitu indah dan cemerlangnya amal-amal Nabi Idris yang diangkat ke langit. 

Maka Izrail memohon kepada Allah merealisasikan keinginannya itu, dan Allah mengabulkannya.

Maka Izrail menjelma menjadi manusia dan turun ke bumi.
Nabi Idris AS mempunyai amalan berpuasa setiap harinya sepanjang masa, dan berdiri untuk shalat sepanjang malam setelah waktu berbukanya, hingga matahari terbit.

Izrail dalam bentuk manusia datang bertamu, setelah mengucap salam dan diijinkan untuk masuk, ia langsung duduk di sebelah Nabi Idris.

Beliau berkata, “Apakah engkau mempunyai keperluan dengan aku?”

Tentu saja Nabi Idris tidak mengetahui kalau tamunya itu adalah malaikat maut, disangkanya hanya manusia biasa seperti kebanyakan tamu beliau.

Izrail berkata, “Tidak, aku hanya ingin menemani engkau jika diijinkan!!”

Nabi Idris mengijinkannya dan beliau meneruskan aktivitas pekerjaan. Sebagian riwayat menyebutkan, pekerjaan beliau adalah seorang penjahit.

Setelah tiba waktu berbuka, datang malaikat dengan membawa hidangan surga.

Nabi Idris menghadapi hidangan itu sambil berkata kepada tamunya, “Marilah makan bersamaku!!”

Tentu saja Izrail tidak memerlukan makanan-makanan itu, maka ia menolak dan mempersilahkan Nabi Idris berbuka dan makan sendirian saja.

Usai berbuka, beliau langsung meneruskan beribadah seperti biasanya, berdiri untuk shalat sepanjang malam itu, sementara Izrail tetap duduk tempatnya seperti sebelumnya.

Ketika matahari terbit dan Nabi Idris mengakhiri ibadah shalatnya, ia keheranan karena tamunya itu masih saja duduk menemaninya tanpa banyak perubahan seperti sebelumnya. Keheranan yang tidak perlu andai saja beliau tahu kalau tamunya itu seorang malaikat. 

Pada pagi hari seperti itu biasanya Nabi Idris mulai bekerja menjahit, tetapi karena hari itu mempunyai tamu yang dalam sehari-semalam ini hanya duduk menemaninya, beliau berkata, “Wahai Tuan, apakah tuan bersedia berjalan-jalan bersamaku sehingga engkau merasa senang?”

Izrail berkata, “Baiklah!!”

Mereka berdua berjalan, hingga ketika sampai pada suatu ladang, Izrail berkata, “Apakah engkau mengijinkan aku mengambil beberapa tangkai dari tanaman ini untuk makanan kita berdua??”

“Subkhanallah,” Kata Nabi Idris, “Kemarin aku mengajak makan tetapi engkau menolak makanan yang jelas halalnya, tetapi hari ini engkau ingin makan dari yang haram!!”

Malaikat Izrail hanya tersenyum mendengar jawaban itu, kemudian mereka melanjutkan perjalanan.

Mereka terus berjalan hingga empat hari lamanya, dan setiap kali masuk waktu berbuka, datang malaikat membawa hidangan untuk Nabi Idris.

Setiap kali beliau mengajak makan hidangan surga itu, tentu saja Malaikat Izrail menolak. 

Akhirnya Nabi Idris menyadari kalau tamunya ini bukanlah manusia biasa, beliau berkata, “Sebenarnya siapakah tuan ini?”
Izrail berkata, “Saya adalah malaikat maut??”

Nabi Idris terkejut mendengarnya, dan berkata, “Jadi engkau yang mencabut nyawa??”

“Ya,” Jawab Izrail.

Beliau berkata lagi, “Engkau selalu berada di sisiku sejak empat hari yang lalu, apakah engkau juga mencabut nyawa seseorang (selama itu)??”

Izrail menjawab, “Ya, bahkan banyak sekali aku mencabut nyawa!!”

Beliau berkata, “Bagaimana engkau melakukannya??”

Izrail berkata, “Ruh-ruh semua mahluk itu ada di depanku, sebagaimana sebuah hidangan makanan. Mudah sekali aku meraih dan mengambilnya (yang telah tiba waktunya), seperti halnya engkau mengambil makanan di depanmu!!”

Nabi Idris manggut-manggut tanda mengerti, walau mungkin beliau tidak melihat langsung bagaimana Malaikat Maut mencabut nyawa seseorang, pada saat yang sama sedang berjalan bersama dirinya selama empat hari terakhir.

Beliau berkata lagi, “Apakah maksud kedatangamu kepadaku, sekedar berkunjung atau untuk mencabut nyawaku??”

Izrail berkata, “Aku datang sekedar berziarah kepadamu dengan seizin Allah SWT!!”

Sejenak Nabi Idris terdiam seperti memikirkan sesuatu, kemudian berkata, “Wahai Malaikat Maut, kebetulan sekali, sesungguhnya aku mempunyai hajat (keperluan) kepadamu!!”
“Apa hajatmu kepadaku??”

“Hajatku kepadamu adalah, hendaklah engkau mencabut nyawaku, dan aku memohon kepada Allah agar Dia menghidupkan aku lagi, sehingga aku bisa makin giat beribadah setelah aku merasakan sakitnya sakaratul maut!!”

Izrail berkata, “Aku tidak bisa mencabut nyawa seseorang kecuali atas seizin Allah, yakni yang telah sampai pada saat ajalnya. Sedangkan saat ini belum tiba saat ajalmu!!”

Tetapi sesaat kemudian turun perintah Allah kepada Izrail agar mencabut nyawa Nabi Idris.

Maka Izrail memberitahukan perintah Allah tersebut kepada Nabi Idris, yang dengan senang hati menerimanya. Izrail segera mencabut nyawa Nabi Idris dan beliau meninggal, tetapi setelah itu Izrail menangis tersedu-sedu karena merasa kehilangan sahabatnya dalam empat hari tersebut.

Ia terus menangis dan merendahkan diri kepada Allah, sambil meminta agar Allah menghidupkan kembali Nabi Idris.

Setelah beberapa waktu lamanya Izrail dirundung kesedihan, Allah menghidupkan kembali Nabi Idris.

Tentu saja Izrail sangat gembira, dan ia berkata, “Bagaimana engkau merasakan sakitnya kematian??”

Nabi Idris berkata, ”Sesungguhnya hewan ketika dikelupas kulitnya (dikuliti) dalam keadaan hidup, maka sakitnya kematian itu seribu kali lebih sakit daripada itu!!”

Izrail berkata, “Sesungguhnya aku bersikap sangat lembut dan sangat hati-hati ketika mencabut nyawamu, yang belum pernah aku lakukan sebelumnya kepada siapapun!!”

Nabi Idris berkata lagi, “Aku masih mempunyai hajat kepadamu, sesungguhnya aku ingin melihat neraka jahanam, dan aku berharap bisa makin giat beribadah kepada Allah setelah melihat siksaan, rantai, belenggu dan berbagai macam azab neraka lainnya!!” 

Izrail berkata, “Bagaimana aku bisa membawamu ke neraka jahanam tanpa seizin Allah!!”

Tetapi sesaat kemudian Allah berfirman kepadanya untuk memenuhi permintaan Nabi Idris tersebut.

Izrail membawa beliau mengunjungi jahanam, memperlihatkan berbagai macam siksaan yang dipersiapkan bagi orang-orang yang mendurhakai Allah, seperti rantai dan belenggu api, ular, kalajengking, aspal, air yang mendidih, zaqqum dan berbagai macam siksaan lainnya.

Semua itu membuat Nabi Idris menggigil penuh ketakutan, setelah itu ia membawa beliau kembali ke tempat semula di dunia.

Kemudian Nabi Idris berkata lagi, “Wahai Malaikat Maut, aku masih mempunyai hajat lainnya kepadamu, yakni bawalah aku ke surga.

Jika aku telah melihat dan merasakan kenikmatan surga, aku akan lebih bersemangat dalam beribadah dan melaksanakan ketaatan kepada Allah!!”

Lagi-lagi Izrail berkata, “Bagaimana mungkin aku membawamu ke surga tanpa seizin Allah!!”

Dan seperti sebelumnya, Allah menurunkan perintah-Nya agar membawa Nabi Idris ke surga seperti permintaannya.
Segera saja Izrail membawa beliau, dan berhenti di pintu surga, yang dari sana telah terlihat berbagai kenikmatan di dalamnya, tetapi tidak membawa beliau masuk ke dalamnya.

Maka Nabi Idris berkata, “Wahai saudaraku, aku telah merasakan sakitnya kematian, merasakan (pengaruh) dahsyatnya siksa neraka dan keterkejutan melihatnya.

Apakah engkau berkenan meminta kepada Allah agar mengizinkan aku memasuki surga, sekedar minum seteguk airnya, untuk menghilangkan bekas-bekas sakitnya kematian dan dahsyatnya siksaan neraka!!”

Izrail memanjatkan doa kepada Allah sesuai permintaan beliau, dan Allah mengabulkan serta mengizinkannya.

Maka Nabi Idris memasuki surga dan hanya minum seteguk air sesuai janjinya. Tetapi sebelum keluar lagi, beliau meninggalkan terompah beliau di bawah pohon.

Setelah berada di pintu surga lagi bersama Izrail, Nabi Idris berkata, “Wahai Malaikat Maut, terompahku tertinggal di surga, aku akan mengambilnya!!”

Nabi Idris segera masuk ke surga, tetapi beberapa waktu lamanya Izrail menunggu beliau tidak keluar juga, maka ia berkata, “Wahai Idris, segeralah keluar!!”

Nabi Idris menyahut dari dalam surga, “Wahai Malaikat Maut, aku telah mendengar firman Allah bahwa tidak seorang manusia-pun kecuali akan merasakan sakitnya kematian, kemudian akan mendatangi neraka dan merasakan (walau hanya sedikit pengaruhnya) beratnya siksaan di dalamnya.

Dan kalau beruntung, dia akan mendatangi surga dan merasakan kenikmatan di dalamnya, dan tidak pernah dikeluarkan lagi.

Sesungguhnya aku telah merasakan seperti itu, dan kini telah masuk ke surga, maka aku tidak akan keluar lagi!!”

Mendengar hujjah (argumentasi) itu Malaikat Izrail jadi ketakutan. Bagaimanapun semua itu terjadi berawal dari ‘keinginannya’ untuk bersahabat dengan Nabi Idris.

Ia takut Allah akan murka kepada dirinya karena sikap Nabi Idris yang tidak mau keluar dari surga, kembali ke dunia seperti semula.

Tetapi kemudian Allah berfirman kepadanya, “Wahai Izrail, biarkanlah dia di sana, sesungguhnya telah menjadi ketetapan-Ku sejak zaman azali bahwa ia termasuk ahlul jannah!!”


Demikianlah sebuah kisah yang semoga bermanfaat..

Wassalamu'alaikum Wr. Wb

Sabtu, 03 Februari 2018

Pedihnya Siksa Kubur Karena Tidak Menunaikan Zakat

Sekelompok tabiin (mereka yang berguru pada sahabat Nabi SAW) mengunjungi seorang tabiin lainnya yang bernama Abu Sinan. Tetapi belum sempat berbincang, Abu Sinan berkata, “Mari ikut bersamaku bertakziah pada tetanggaku yang saudaranya meninggal!!”

Mereka segera beranjak ke rumah tetangga Abu Sinan, dan mendapati lelaki itu menangis mengeluhkan keadaan saudaranya yang telah meninggal dan dimakamkan. Paratabiin itu berusaha menghibur dan menyabarkannya dengan berkata, ”Tidakkah engkau tahu bahwa kematian itu adalah sebuah jalan dan kepastian yang tidak bisa dihindarkan??”

Lelaki itu berkata, “Memang benar, tetapi aku menangisi saudaraku yang kini menghadapi siksa kubur!!”
Sesaat mereka saling berpandangan, kemudian berkata, “Apakah Allah memperlihatkan kepadamu tentang berita ghaib??”

Ia berkata, “Tidak, tetapi saat selesai memakamkannya dan orang-orang meninggalkan kuburnya, aku duduk sendirian meratakan tanah kuburan sambil mendoakannya Tiba-tiba terdengar suara dari dalam tanah : …aach, mereka meninggalkan aku sendirian menghadapi siksa ini, padahal aku benar-benar telah berpuasa, aku benar-benar telah melaksanakan shalat….”

Sesaat lelaki itu terdiam berusaha menahan isak tangisnya, lalu berkata lagi, “Mendengar perkataan itu, aku jadi menangis dan menggali lagi kuburannya untuk melihat apa yang sedang dihadapinya. Aku melihat api menjilat-jilat di sana, dan di lehernya melingkar sebuah kalung dari api. Rasa sayang dan kasihan membuatku ingin mengurangi deritanya, maka aku mengulurkan tangan untuk melepas kalung api itu, tetapi tangan dan jari-jemariku justru tersambar api sebelum sempat menyentuhnya….!!”

Ia menunjukkan tangannya yang tampak menghitam bekas terbakar, dan berkata lagi, “Aku segera menutup kembali kuburnya, dan terus menerus bersedih, menangis dan menyesali keadaan dirinya….!!”

Mereka berkata, “Sebenarnya apa yang telah dilakukan saudaramu di dunia hingga mendapat siksa kubur seperti itu??” 
Ia berkata, “Dia tidak mengeluarkan zakat hartanya!!”
Salah seorang dari para tabiin itu yang bernama Muhammad bin Yusuf al Qiryabi berkata, “Peristiwa itu membenarkan firman Allah SWT :

Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka.

Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS Ali Imran 180)… Sedangkan saudaramu itu disegerakan siksanya di alam kubur hingga hari kiamat tiba….”

Para tabiin itu berpamitan, dan mereka mengunjungi sahabat Nabi SAW, Abu Dzarr al Ghifari. Mereka menuturkan kisah lelaki tetangga Abu Sinan itu, dan menutup ceritanya dengan pertanyaan, “…. Kami telah banyak melihat orang-orang Yahudi, Nashrani dan Majusi mati, tetapi kami tidak pernah mendengar cerita yang seperti ini!!”

Abu Dzarr berkata, “Mereka (kaum Yahudi, Nashrani dan Majusi) telah jelas tempatnya di neraka, adapun Allah memperlihatkan keadaan orang-orang yang beriman (yang mengalami siksa) itu kepada kalian, agar kalian dapat mengambil ibarat (pelajaran). Bukankah Allah telah berfirman : Sesungguhnya telah datang dari Tuhanmu bukti-bukti yang terang; maka Barang siapa melihat (kebenaran itu), maka (manfaatnya) bagi dirinya sendiri; dan barang siapa buta (tidak melihat kebenaran itu), maka kemudaratannya kembali kepadanya. Dan aku (Muhammad) sekali-kali bukanlah pemelihara kamu. (QS al An’am 104)….!!”

Rabu, 31 Januari 2018

Keadilan Lebih Baik Daripada Keindahan

Anu Sirwan adalah salah satu Kisra (Kaisar) Persia yang cukup terkenal karena keadilan dan kearifan (kebijaksanaan)-nya kepada rakyatnya. Ia hidup jauh sebelum diutusnya Nabi SAW, tetapi kisah-kisah keadilannya cukup terkenal dan menyebar di kalangan masyarakat Arab, walau sebenarnya ia dan rakyatnya adalah penyembah api, yakni beragama Majusi. 

Salah satu kisahnya adalah ketika Anu Sirwan akan melakukan pembangunan untuk meluaskan istananya. Ketika ia melakukan penggusuran dan pembebasan tanah beberapa orang rakyatnya, ternyata ada seorang wanita tua dengan gubug reotnya yang menolak untuk menjual. 

Berbagai upaya, ancaman dan rayuan, cara halus hingga keras dilakukan tetapi wanita itu tetap bertahan. Wanita itu berkata, “Saya tidak akan menjual walau akan dibayar dengan sekeranjang uang emas. Tetapi kalau dia (yakni Kisra Anu Sirwan) akan menggusurnya, dan dia memang mampu melakukannya, maka terserah saja!!”

Parapelaksana pembangunan perluasan istana itu melaporkan hal itu kepada Anu Sirwan, dan berencana menggusur gubug reot wanita tua itu, karena posisinya memang tepat di tengah-tengah istana itu, di bagian depan pula. Tetapi Anu Sirwan berkata, “Jangan lakukan itu, biarkan saja gubug itu di tempatnya, tetapi tetap laksanakan perluasan pembangunan!!”
Pembangunan terus dilaksanakan, hanya saja ada pembengkokan untuk menghindari gubug wanita tua. 

Ketika telah selesai dan tamu-tamu datang untuk menghadiri undangan Kisra Abu Sirwan dalam suatu acara di istana, banyak sekali yang berkomentar, “Alangkah indahnya istana ini jika saja tidak ada bengkoknya (yakni gubug wanita tua itu)!!”

Mendengar komentar-komentar seperti itu, Anu Sirwan berkata, “Justru dengan kebengkokan itulah perkaranya menjadi lurus, dan keindahannya semakin sempurna!!”

Walau secara penampilan memang ‘kurang indah’, tetapi itulah memang yang benar dan lurus. Keadaan dan ‘keindahan’-nya menjadi sempurna karena memang tidak ada satu pihakpun, walau sangat lemah dan tidak berdaya, yang merasa didzalimi dengan sikap sang penguasa.

Peristiwa yang hampir sama terjadi ketika Mesir masuk menjadi wilayah Islam setelah terlepas dari Rumawi pada masa khalifah Umar bin Khaththab. 

Gubernur Mesir saat itu, Amr bin Ash bermaksud mendirikan sebuah masjid (yang kini dikenal dengan nama Masjid Amr bin Ash), tetapi seorang wanita Qibhti beragama Nashrani menolak ketika gubug reotnya akan dibeli/diganti dengan harga berapapun. Hanya saja Amr bin Ash tetap memerintahkan untuk menggusur rumah wanita Qibhti itu agar pembangunan masjidnya segera selesai.

Wanita Qibthi yang merasa didzalimi oleh tindakan sang gubernur itu berjalan kaki menuju Madinah untuk mengadukan persoalannya kepada khalifah. Mendengar pengaduan itu, Umar mengambil pecahan tembikar, dan menulis dengan pedangnya, “Kita lebih berhak (wajib) berbuat keadilan daripada Kisra Anu Sirwan!!”

Umar memerintahkan wanita Qibhti itu menyerahkan ‘surat’ pecahan tembikar itu kepada Gubernur Amr bin Ash. Ia juga memberikan perbekalan yang berlebih kepada wanita beragama Nashrani itu, agar bisa sampai kembali ke Mesir dengan selamat. 

Ketika Amr bin Ash menerima ‘surat’ dari Umar itu, ia langsung meletakkan pecahan tembikar tersebut di atas kepalanya, sambil menangis memohon ampunan kepada Allah. Ia memerintahkan para pelaksana pembangunan untuk mendirikan kembali gubug wanita Qibhti itu, dan membelokkan bangunan masjid, sehingga bentuknya membengkong.

Senin, 29 Januari 2018

Karena Kesabaran Menghadapi Istrinya

Seorang yang saleh mempunyai saudara yang tempat tinggalnya sangat jauh, karena itu jarang sekali ia bisa mengunjunginya. 

Setelah beberapa tahun tidak bertemu, ia datang mengunjunginya. Tetapi tampak rumahnya tertutup, maka ia mengetuk pintunya dan mengucap salam. Terdengar suara ketus seorang wanita dari dalam rumah, yang mungkin istrinya, “Siapa??”

Ia berkata, “Aku saudara suamimu, datang dari jauh untuk menjenguknya!!”

Tanpa membukakan pintu, terdengar suaranya yang ketus lagi, “Ia masih pergi mencari kayu, semoga saja Allah tidak mengembalikannya lagi ke sini….”

Kemudian masih diteruskan dengan berbagai macam caci-maki kepada saudaranya itu. Ia hanya bisa geleng-geleng kepala mendengarnya. Ia tahu betul bahwa saudaranya itu juga saleh seperti dirinya, karena memang begitulah kedua orang tuanya dahulu mendidiknya. Segala macam umpatan dan cacian itu mungkin salah sasaran kalau ditujukan kepada saudaranya itu.

Ia memutuskan untuk menunggu dan tidak berapa lama saudaranya itu datang. Saudaranya itu memang mencari kayu, tetapi ia tidak membawanya sendiri, seekor harimau yang cukup besar berjalan di belakangnya sambil ‘menggendong’ kayu tersebut. Setelah kayu diturunkan dari punggung sang harimau, saudaranya itu berkata, “Pergilah, semoga Allah memberkahi dirimu!!”

Harimau itu berlalu pergi dengan patuhnya, dan pemandangan itu membuatnya terkagum-kagum. Tampaknya saudaranya itu telah mencapai maqam yang cukup tinggi di sisi Allah, hingga mempunyai ‘karamah’ bisa memerintah binatang buas.

Saudaranya itu mengajaknya masuk, dan meminta dengan lemah lembut kepada istrinya untuk menyiapkan makanan bagi mereka. Sang istri memenuhi perintahnya dengan sikap yang kasar, dan mulutnya tidak henti-hentinya mengomel. 

Sebaliknya, ia melihat saudaranya itu hanya diam dan terlihat sangat lapang, tidak sepatah katapun keluar dari mulutnya.
Sama sekali tidak ada sikap marah dan tersinggung dengan perkataan istrinya yang sangat menusuk perasaan, bahkan tampak sekali saudaranya itu nyaman dan bahagia dengan keadaaannya. Karena itu ia urung untuk menanyakan keadaan rumah tangganya, seperti keinginannya semula.

Dengan keadaan seperti itu, ia tidak ingin berlama-lama untuk tinggal. Ia pamit pulang, tetapi sepanjang perjalanan tidak habis-habisnya ia memikirkan keadaan saudaranya itu. Di satu sisi ia mempunyai ‘karamah’ yang begitu mengagumkan, tetapi di sisi lainnya, ia menghadapi sikap istrinya yang begitu buruk.

Beberapa tahun berlalu dan tidak bertemu, ia datang lagi mengunjungi saudaranya itu. Sampai di rumahnya yang tampak tertutup, ia mengetuk pintunya dan mengucap salam. Maka terdengar suara seorang wanita, yang mungkin adalah istri saudaranya itu, “Siapa??”

Kali ini suara itu begitu lembut dan santun, sangat berlawanan suara wanita bertahun sebelumnya. Ia berkata, “Aku adalah saudara suamimu, datang dari jauh untuk menjenguk keadaannya!!”

Suara santun wanita itu terdengar lagi, “Selamat datang, suamiku sedang mencari kayu di hutan. Silahkan untuk menunggu, tetapi mohon maaf aku tidak bisa membukakan pintu hingga suamiku pulang!!”

Ia berkata, “Tidak mengapa, biar saja aku menunggu di luar!!”
Kemudian ia terlibat pembicaraan singkat lewat pintu yang tertutup, dan istri saudaranya itu memuji-muji kebaikan dan kesalehan suaminya itu setinggi langit, dan menyatakan rasa syukurnya karena bisa menjadi istrinya.

Tidak lama kemudian saudaranya itu datang, tetapi yang mengherankannya tidak ada harimau yang membawakan kayunya seperti dahulu. Ia memikul sendiri tumpukan kayu tersebut, tampak kelelahan dan keringat mengalir di wajahnya, tetapi masih dengan kelapangan dan rasa bahagia yang sama seperti bertahun sebelumnya.

Mendengar suaranya itu, sang istri langsung membuka pintu dan menyambut kedatangannya dengan santun dan hormatnya. 
Saudaranya itu mengajaknya masuk, dan ternyata makanan telah terhidang, maka mereka langsung menyantap makanan yang disediakan istrinya tersebut.

Sambil makan ia berkata, “Wahai saudaraku, apakah yang terjadi? Apakah engkau telah kehilangan ‘karamah’mu yang dahulu?”

Masih dengan kelapangan hati dan pancaran rasa bahagia yang sama seperti bertahun sebelumnya, saudaranya itu berkata, “Wahai saudaraku, dahulu itu Allah SWT memberikan istri yang cerewet dan rendah akhlaknya kepadaku, dan aku ikhlas menerimanya. Karena kesabaranku menghadapinya, maka Allah mendatangkan harimau untuk membantuku.

Beberapa bulan yang lalu istriku yang cerewet itu meninggal, dan sejak itu pula harimau itu tidak membantuku lagi, dan aku harus memikul sendiri kayu-kayu itu. Namun demikian, Allah tetap memberikan ‘karamah’ lainnya kepadaku, yakni istri yang cantik dan masih muda, serta sangat baik akhlaknya dan tekun ibadahnya!!” 

Dalam riwayat lain disebutkan, saudaranya yang saleh itu adalah seorang pandai besi. Ia mencari kayu untuk membakar besi-besi yang diolahnya. Ketika ia masih beristri yang cerewet dan ia bersabar atasnya, bukan hanya harimau yang membawakan kayunya, tetapi ia memegang besi yang dibakarnya langsung dengan tangannya.

Tetapi ketika Allah telah menggantinya dengan istri yang salehah, cantik, masih muda dan berakhlaqul karimah, ia harus memegang besi yang dibakarnya dengan penjepit, kalau tidak tangannya akan melepuh.

Senin, 27 November 2017

Ketika Manusia Telah mengabaikan

Sudah menjadi ‘hukum sosial’ bahwa seseorang yang perbuatannya jelek dan sering menjadi gangguan bagi masyarakat, ia tidak akan diperdulikan lingkungannya ketika ia mengalami kesulitan atau bahkan meninggal. Padahal yang namanya manusia, tidak selalu dan selamanya seluruh catatannya hitam kelam, bisa jadi ada yang baik dan bermanfaat walau hanya sepele. Tetapi hal yang kecil dan sepele itulah yang kadang mengundang rahmat dan ampunan Allah.

Pernah terjadi di Bashrah, seorang pemabuk yang sangat buruk moralnya meninggal dunia. Istrinya memberitahukan hal itu kepada para tetangganya, tetapi mereka sama sekali tidak memperdulikan dan tidak mau merawatnya. Karena itu ia memanggil empat orang buruh upahan untuk merawat jenazahnya dan kemudian membawanya ke mushalla. Tetapi sesampainya di sana tidak ada seorangpun yang hadir untuk menyalatkannya. Beberapa orang yang mengetahui hanya melihat dan membiarkannya setelah tahu siapa gerangan jenazah itu. Empat buruh itupun tidak bisa melaksanakan shalat jenazah. Karena tidak tahu harus bagaimana, istrinya itu memerintahkan orang-orang upahan itu untuk membawanya ke pinggiran hutan dan menguburkannya di sana. 

Tidak jauh dari hutan tersebut ada sebuah bukit, yang di sanaada seseorang yang saleh dan sangat zuhud menyendiri untuk beribadah kepada Allah. Ia tidak pernah turun dan berkumpul di masyarakat kecuali untuk shalat Jum’at. Entah bagaimana asal-muasalnya, tiba-tiba orang itu turun gunung dan mendatangi jenazah sang pemabuk yang tengah digali kuburannya itu, dan ia menyalatkannya. Setelah itu ia duduk menunggu untuk memakamkannya. 

Peristiwa turunnya sang saleh dan zahid dari ‘pertapaaanya’ di atas bukit itu menjadi berita menggemparkan bagi masyarakat sekitarnya. Mereka merasa takjub dan keheranan sehingga datang berduyun-duyun ke pinggiran hutan tersebut. Salah satu dari tokoh masyarakat tersebut menghampiri orang saleh tersebut dan berkata, “Wahai Tuan, mengapa engkau menyalatkan jenazah orang ini sedangkan ia orang yang sangat buruk dan banyak sekali berbuat dosa kepada Allah??”

Orang saleh itu berkata, “Aku diperintahkan (tentunya melalui ilham) turun ke tempat ini karena ada jenazah seseorang yang telah diampuni oleh Allah, sedangkan tidak seorangpun di sana kecuali hanya istrinya!!”

Orang-orang jadi keheranan mendengar jawaban tersebut, bertahun-tahun mereka tinggal bersama orang itu dan sama sekali tidak pernah melihat dan mengetahui kebaikan yang dilakukan olehnya. Sang zahid tampaknya mengetahui kebingungan masyarakat, karena itu ia memanggil istrinya dan berkata, “Bagaimana sebenarnya keadaan dan perilaku suamimu itu??” 

Sang istri berkata, “Seperti yang diketahui banyak orang, sepanjang hari ia hanya sibuk minum-minuman keras (khamr) di kedai-kedai. Pulangnya di malam hari dalam keadaan mabuk dan tidak sadarkan diri. Seringkali ketika ia tersadar di waktu fajar, ia mandi dan wudhu kemudian shalat subuh. Tetapi di pagi harinya ia kembali ke kedai-kedai untuk minum khamr seperti biasanya. Hanya saja di rumah kami tidak pernah kosong dari satu atau dua orang anak yatim, yang ia sangat menyayanginya melebihi anaknya sendiri. Dan di waktu sadarnya, ia selalu bermunajat sambil menangis sesenggukan : Ya Allah, di bagian jahanam yang manakah akan Engkau tempatkan penjahat (yakni dirinya sendiri) ini??”

Sang zahid berkata, “Sungguh Maha Luas Kasih Sayang Allah, mungkin karena sangat sedikitnya kebaikan yang dilakukannya sehingga merasa rendah dan hina di hadapan Allah. Dan juga kesabarannya menanggung kehinaan dan cibiran sinis dari lingkungannya, yang mengundang rahmat dan ampunan Allah!!”

Mendengar penjelasan itu, anggota masyarakat yang hadir segera ikut menyalatkan jenazah pemabuk tersebut, dan ikut serta menguburkannya.

Rabu, 08 November 2017

Tidak Berputus Asa Dari Rahmat Allah

Jauh sebelum diutusnya Nabi SAW, pernah ada seseorang yang luar biasanya ‘prestasi’ kejahatannya, ia telah membunuh sembilanpuluh sembilan orang tanpa alasan yang benar. Namun demikian, tiba-tiba tergerak dalam hatinya untuk bertaubat, hanya saja ia bimbang apakah masih ada peluang baginya untuk kembali ke jalan kebaikan. Orang-orang di sekitarnya menyarankan agar menemui seorang rahib untuk menanyakan hal itu.

Ketika tiba di tempat kediaman sang rahib, ia menceritakan kegundahan hatinya dan keinginannya untuk bertaubat. 
Sang rahib bertanya, “Apakah kesalahanmu itu?”
Ia berkata, “Saya telah membunuh sembilanpuluh sembilan orang tanpa alasan yang benar!!”
“Apa??” Seru sang rahib penuh kekagetan, “Membunuh sembilanpuluh sembilan orang? Tidak ada jalan bagimu!! Tempat yang tepat bagimu adalah neraka!!”

Lelaki itu sangat kecewa sekaligus marah. Ia sadar bahwa kesalahannya memang begitu besarnya. Tetapi cara sang rahib menyikapi dan ‘memvonis’ itu sangat melukai perasaannya. Walau hatinya mulai melembut dengan keinginannya untuk taubat, tetapi jiwa jahatnya belum benar-benar menghilang. Tanpa banyak bicara, ia mengambil pisaunya dan membunuh sang rahib. Genap sudah seratus nyawa tidak bersalah yang melayang di tangannya, tetapi ‘panggilan’ Ilahiah untuk bertaubat terus mengganggu perasaannya, hanya saja ia tidak tahu harus bagaimana?

Suatu ketika ada orang yang menyarankan untuk menemui seseorang yang alim di suatu tempat, dan ia segera menuju ke sana. Ketika tiba di tempat tinggal sang alim, ia menceritakan jalan hidupnya, termasuk ketika ia menggenapkan pembunuhannya yang ke seratus pada diri sang rahib, dan tentu saja keinginannya untuk bertaubat. Sang alim yang bijak itu berkata, “Tentu saja bisa, dan tidak ada seorangpun yang bisa menghalangi keinginanmu untuk bertaubat. Tetapi tinggalkanlah tempat tinggalmu itu karena di sana memang kota maksiat. Pergilah ke KotaA (kota lainnya) karena di sana banyak orang yang beribadah kepada Allah, beribadahlah engkau bersama mereka, dan jangan pernah kembali ke kotamu itu. Insyaallah engkau akan memperoleh ampunan Allah dan dimudahkan jalan kepada kebaikan!!”

Lelaki itu segera berangkat ke kotayang dimaksudkan sang alim, tetapi di tengah perjalanan kematian menjemputnya. Datanglah dua melaikat untuk menjemput jiwa lelaki itu, satu Malaikat rahmat dan satunya Malaikat azab (siksa). Dua malaikat itu bertengkar dan masing-masing merasa berhak untuk membawa jiwa lelaki itu. Sang Malaikat rahmat berkata, “Ia telah berjalan kepada Allah dengan sepenuh hatinya!!”

Malaikat azab berkata, “Ia tidak pernah berbuat kebaikan sama sekali, justru kejahatannya yang bertumpuk-tumpuk!!”
Mereka berdua terus beradu argumentasi, sampai akhirnya Allah mengutus malaikat yang ketiga dalam bentuk manusia untuk menjadi ‘hakim’ bagi keduanya. Setelah masing-masing mengajukan pendapatnya, ia berkata, “Ukurlah jarak dua kota itu dari tempat kematiannnya ini, mana yang lebih dekat, maka ia termasuk dalam golongannya!!”

Mereka mengukur jaraknya, dan ternyata kota yang dituju (kota tempat ibadah dan penuh kebaikan) lebih dekat sejengkal daripada Kotamaksiat yang ditinggalkannya. Maka jiwanya dibawa oleh Malaikat rahmat, dan ia memperoleh ampunan Allah.

Dalam riwayat lainnya disebutkan, sebenarnya lelaki itu belum jauh meninggalkan kota maksiat tersebut. Tetapi Allah memang berkehendak untuk mengampuninya, maka dari tempat kematinnya itu, kota kebaikan dan ibadah dipanggil mendekat dan kota maksiat ‘dihalau’ menjauh hingga jarak keduanya hanya selisih sejengkal tangan, lebih dekat kepada kota kebaikan.